Implementasi Pendidikan Karakter di Kampus


Oleh: Epi Suhaepi

         Pendidikan merupakan “industri” pencetak manusia-manusia yang memiliki keterampilan hidup agar bisa beradaptasi dengan lingkungan dan bisa memecahkan masalah kehidupannya. Maka dari itu, arah pendidikan harus senantiasa berorientasi pada pemecahan permasalahan yang di hadapi manusia itu sendiri. Sebagaimana yang telah digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan memiliki arti bahwa seluruh potensi dan proses pendidikan yang diselenggarakan harus dan wajib berorientasi pada proses pembentukan karakter manusia Indonesia yang cerdas. Pembentukan karakter ini sesuai dengan tujuan pendidikan (pasal 3 UU No 20 tahun 2003) yaitu menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Tujuan pendidikan dalam UU ini menunjukan keinginan untuk membentuk manusia yang ingin di capai seperti memiliki kepribadian atau karakter yang baik bukan kecerdasan semata. Dengan demikian, kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang harus di ikuti dengan karakter yang kuat. Secara formal, pembentukan manusia dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah terutama kampus.
Kampus dalam persoalan ini adalah masalah kedua. Sebab yang mendiami didalamnya adalah manusia. Kampus hanya akan menjadi penting ketika di isi oleh beberapa komponen manusia  sebagai agen pelaksana misi tridarma perguruan tinggi. Secara struktural, komponen itu di antaranya ada Rektor,Dosen, Karyawan dan Mahasiswa. Kampus sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berupaya melakukan proses untuk mencerdaskan anak bangsa (peserta didik) merupakan sarana formal dan strategis dalam mencetak manusia yang berkarakter. Karena kampus di dukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai tingkat intelektual tinggi serta sarana dan prasarana yang mendukung dalam proses pendidikan yang dilakukan. Secara umum, upaya implementasi pendidikan karakter itu terlaksana dalam dua bidang yaitu bidang akademik dan kemahasiswaan. Pertama, akademik. Upaya penanaman nilai kepribadian yang menjadi tahap dasar untuk pembentukan karakter harus masuk di integrasikan dalam kegiatan akademik terutama dalam proses pembelajaran.
Menyadari bahwa karakter individu tidak bisa dibentuk hanya melalui satu atau dua kegiatan saja, maka harus disusun kurikulum pembinaan karakter yang berkesinambungan dan  terintegrasi dalam perkuliahan, dimana proses tersebut juga melibatkan dosen, karyawan, dan  lembaga lain dalam universitas, sehingga manfaat pembinaan karakter dapat dirasakan (Brooks, 2005). Selain itu, dalam proses penilaian dalam bidang akademik hendaknya evaluasi yang di lakukan tidak hanya memperhatikan hasil ujian akan tetapi lebih penting dari itu adalah keterlibatan peserta didik (mahasiswa) dalam “proses” pembelajaran. Evaluasi saat ini masih sebatas aspek kognitif yang dominan, tanpa di imbangi dengan afektif (kepribadian). Evaluasi adalah sebuah proses belajar seharusnya bersifat menyeluruh dengan memperhitungkan aspek-aspek pembelajaran. Kemajuan belajar seorang siswa harus dilihat selama proses belajar, bukan hanya pada saat terakhir sewaktu ujian (Paul Suparno, 2002).
Kedua, bidang kemahasiswaan. Pokok yang di soroti dalam bidang ini adalah mengenai kegiatan mahasiswa ekstra akademik (ekstrakulikuler). Dalam kegiatan ekstrakulikuler segala potensi, bakat, dan minat mahasiswa dapat tersalurkan dengan baik karena ada lembaga yang mewadahinya seperti organisasi mahasiswa (ormawa) dan unit kegiatan mahasiswa (UKM). Ketika mereka (mahasiswa) terlibat dalam kepengurusan lembaga, maka di sana mereka akan belajar mengenai kecakapan tertentu seperti kerjasama, saling tolong menolong, dan kecapakan yang lainnya dan lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan. Melatih kecerdasan emosi tidak cukup hanya berupa pelatihan kognitif seperti yang diperoleh selama ini. Kecakapan, pada hakikatnya seperti dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang terkoordinasi, apa yang kita pikirkan, rasakan dan kerjakan agar suatu tugas terlaksana. Pendapat ini sekiranya bisa menegaskan bahwa hakikat dari suatu kecakapan bukanlah hanya pada pemahaman melainkan juga metode internalisasi kebiasaan (Ary Ginanjar, 2007). Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan merupakan proses yang dapat membekali mahasiswa untuk memiliki soft skill, yang pada hakikatnya sebagai upaya pembentukan karakter seseorang.
Pada intinya, dalam upaya proses pembentukan karakter tidak  bisa di laksanakan oleh beberapa pihak saja, perlu di libatkan semua civitas akademik, mulai dari tahap pelaksanaan sampai penilaian ukuran keberhasilan. Juga harus dibuat semacam tim yang “menggawangi” program pendidikan karakter ini agar tetap sesuai arahan dan membenarkan kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu perlu ada upaya pembentukan karakter yang terlebih dahulu dikhususkan bagi para pengampu kebijakan agar memiliki karakter yang di inginkan, hal ini penting untuk sebuah ketauladanan. Setelah itu, kalau memang diperlukan, pangkas kurikulum yang mempunyai nilai kognitif tinggi dalam proses pendidikan dan perpanjang waktu untuk pendidikan karakter. Di luar akademik juga tidak kalah pentingnya, semua manusia adalah makhluk sosial yang sejatinya melakukan interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dalam konteks kampus, hal itu terlihat dibidang kemahasiswaan yang menjadi miniatur atau cerminan implementasi seseorang sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan kemahasiswaan perlu di tingkatkan, karena di sana dilatih agar memiliki soft skill  serta terdapat proses pembentukan karakter. Wallahua’lam
(Termuat di Koran Merapi, 25 April 2011)
*Pengkaji Pendidikan Profetik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta